Jumat, 12 Juli 2019

HALLSTATT, Negeri Dongeng di Tepi Danau


Hari ini (16 Nov 2018) kami mengunjungi Hallstatt, salah satu desa tercantik di Eropa. Kami berangkat dari Vienna sekitar jam 08.00 pagi setelah sarapan dan check out hotel. Sama seperti hari sebelumnya, perjalanan kami berjalan lancar melewati jalan raya mulus yang boleh dibilang cukup lengang. Pemandangan sepanjang perjalanan adalah perbukitan, lembah, ladang dan kadang ada hewan ternak sapi, domba dan kuda, sungai yang berair jernih, danau yang biru, langit biru cerah, rumah petani yang asri….pokoknya gak ada bosannya melihat ke luar jendela bus yang melaju dengan kecepatan stabil. Perjalanan Vienna – Hallstatt memakan waktu kurang lebih 4 jam, dengan satu kali mampir di rest area untuk beristirahat sejenak atau ke toilet atau membeli cemilan di toko yang ada di rest area, karena peraturan di beberapa negara di Eropa setiap 2 jam perjalanan sopir bus harus beristirahat sejenak sekitar 15 menit.


Hallstatt merupakan kota kecil di distrik Gmunden. Terletak di antara sisi barat daya Danau Hallstatter dan lereng Dachstein, kota ini terletak di region Salzkammergut, di antara jalan nasional yang menghubungkan Salzburg dan Graz. Hallstatt dikenal akan produksi garamnya yang sudah berusia ribuan tahun sejak zaman pra-sejarah sehingga menjadi tambang garam tertua di Eropa. Tahun 1997 Hallstatt juga menjadi salah satu UNESCO World Heritage Sites di Austria.

Sekitar jam 12 siang, akhirnya kami memasuki kawasan Hallstatt. Begitu turun dari bus, udara dingin musim gugur langsung menerpa kulit, walaupun matahari bersinar cerah. Kami langsung menyusuri jalanan kecil di tepi danau sambil mengagumi keindahan danau Hallstatter dan rumah-rumah penduduk yang kelihatannya sudah berumur cukup tua namun tetap terpelihara dengan baik. Berhubung saat itu sudah tiba saatnya makan siang dan memang sudah lapar, kami langsung mencari resto yang kira-kira menjual makanan yang bisa kami makan…..namun ternyata kami harus menunggu cukup lama sampai makanan yang kami pesan dihidangkan. Selain karena pengunjung resto cukup ramai, juga karena di resto tersebut cuma ada 2 orang pekerja, si koki juga merangkap menjadi pelayan dan kasir, mungkin karena tenaga kerja di sana mahal ya jadi mereka harus mempekerjakan orang seefisien dan seproduktif mungkin.













Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan desa Hallstatt yang ramai oleh turis sambil melihat-lihat toko-toko souvenir yang menjual kerajinan khas yang terbuat dari garam. Karena di Hallstatt terdapat tambang garam tertua di Eropa, jadi tidak heran jika di sana banyak dijual berbagai produk yang terbuat dari garam. Namun karena keterbatasan waktu kami tidak sampai ke Market Square yang menjadi jantungnya Hallstatt dan telah ada sejak abad ke 14, juga tidak sempat melihat beberapa landmark Hallstatt seperti Evangelical Parish Church yang dibangun pada abad ke 18 dan menjadi salah satu objek foto yang paling banyak diambil di Hallstatt, Catholic Parish Church, dan Charnel House (Bone House). Mungkin ini bisa menjadi alasan untuk datang lagi ke Hallstatt di lain waktu dan menghabiskan lebih banyak waktu di sana atau bahkan menginap barang semalam supaya bisa benar-benar merasakan atmosfer salah satu desa tercantik di Eropa ini.









Setelah menghabiskan waktu sekitar 2 jam di Hallstatt (yang kami rasakan sangat kurang karena terpotong antri makan di resto kurang lebih 1 jam sehingga tidak bisa explore Hallstatt), kami melanjutkan perjalanan menuju kota berikutnya, yaitu Salzburg. Sepertinya hal ini menjadi salah satu kekurangan ikut paket tour yaitu tidak bisa explore suatu tempat sesuai keinginan kita karena untuk satu spot hanya diberikan waktu yang sangat terbatas.
salah satu view terbaik Hallstatt, namun kami tidak sampai ke sini (foto dari Wikipedia)

salah satu view terbaik Hallstatt, namun kami tidak sampai ke sini (foto dari Wikipedia)

Market Square, namun kami tidak sampai ke sini (foto dari Wikipedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar